Selasa, 14 Desember 2010

Masa Sulit

Untuk keluarga saya yang di jakarta, atau istilah kerennya home mate, masa masa setelah Idul Fitri Tahun ini mungkin menjadi masa- masa sedikit sulit. Peristiwa itu terjadi satu hari setelah Idul Fitri, rencananya hari itu uwak saya dan anak, menantu beserta cucunya akan pergi wisata ke Bogor. Saya tidak ikut, karena kemarinnya saya habis ke dufan dan lelah sekali, jadi saya memutuskan untuk istirahat. Semua yang ikut berangkat, tinggalah s saya dan nenek kesayangan saya menjaga rumah. Hingga beberapa jam kemudian, telepon berdering , mengabarkan uwak saya jatuh saat akan berganti kereta , dan beliau tidak bisa bangun harus dipapah dan memakai kursi roda, dan minta dicarikan tukang urut. Kaget juga terima kabar ini, nenek saya sampai menangis dibuatnya. Beberapa menit kemudian uwak saya datang dengan ojek, dan turun sambil dipapah beberapa orang laki-laki. Tidak lama kemudian, Tukang urut datang, dan terjadilah proses pengobatan yang membuat si pesakitan menjerit - jerit luar biasa.

Hari demi hari berlalu, pengobatan terus dilakukan. Selama uwak saya sakit sampai sekarang saya tulis tulisan ini sudah hampir empat bulan berlalu, dan uwak saya juga berangsur pulih. Dan selama itu pula uwak saya tidak berjualan. Lemari makanan yang sabtu minggu ramai dengan menu makanan, sekarang hampir setiap hari lemari makanan itu kosong. Buat, kami hal itu juga tidak terlalu jadi masalah, karena rejeki sudah diatur oleh Allah, Kadang saya ada rejeki , dibagi, kadang bibi saya yang tinggal di depan rumah saya juga sering mengantar makanan, hebatnya bibi saya ini juga sebenarnya keadaannya pas pasan atau juga kekurangan, tapi dia selalu punya kekuatan untuk selalu memberi. Aku bangga sama bibiku yang satu ini. Bahkan, ada kejadian sepertinya menurut saya menggenaskan, saya makan nasi hanya dengan kerupuk dan kecap, mau nangis juga saat makan tapi harus saya tahan, tengsin kali nangis hanya karena masalah sepele. Kadang uang saya juga pas-pasan. Minggu pagi biasaya kami lewati dengan ngopi, ngeteh sambil makan nasi uduk, bubur atau pecel. Kini, sering kami lewati hanya dengan Teh saja. Allah selalu baik bukan.

Tapi itu tidak seberapa dibandingkan luka batin, yang dialami uwak saya. Uwak saya punya anak dua perempuan. Yang satu sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari rumah kami. Saat awal kejadian pasca kecelakaan sih sikapnya biasa saja. Tapi kelamaan, sikapnya itu berubah, sikapnya acuh tak acuh dengan ibunya, tidak pernah bertanya lagi tentang keadaan sang ibu. Bahkan, saat datang dan pulang dari rumah kamipun tak pernah basa-basi untuk pamit. Hal pastinya saya tidak tahu, karena saya tidak pernah bertanya, tapi dari kabar yang saya dapat , hal ini karena , kondisi ibunya tersebut mengacak-acak susunan keuangan sang anak. Sekedar info, pengobatan untuk urut ditanggung oleh menantunya. Yah, wajar sih, tapi keadaan seperti ini tidak ada yang mau bukan? Kalau orang tua sakit siapa yang paling bertanggung jawab? anaknya bukan? Saya juga sadar, saya juga bukan anak yang baik sama orang tua saya (menurut saya loh) tapi setidaknya saya berusaha untuk membuat orang tua saya tidak menangis karena saya. Saya juga tidak tahu gambaran saya seperti apa , jika orang tua saya menghadapi ini semua, satu hal yang saya janjikan kepada diri saya, saya akan terus ada disamping orang tua saya, baik berupa dukungan moral, kasih sayang, dana, pokoknya semampu saya. Kembali, ke kondisi uwak saya. Sikap anaknya tersebut membuat kondisi jiwa uwak saya sedikit goyah, jiwanya terluka. Air matanya sering bercucuran kalo bercerita soal ini. Saya cuma bisa bilang sabar, dan berdoa semoga hati anaknya lembut kembali. Bagaimanapun dia juga seorang ibu, harusnya tahu bagaimana kalau kita juga diperlakukan seperti itu. Tak ada yang lebih menyedihkan selain ditolak oleh darah dagingnya sendiri.

Ujian datang untuk mengukur kualitas diri kita, seperti apa kita jika diuji, itulah diri kita sebenarnya, sama dengan saat kita naik gunung saat dibawah kita masih bisa nyanyi-nyanyi, kebersamaan banget, tapi saat dipertengahan , dimasa-masa sulit menanjak, kita akan jadi diri sendiri. Apakah kita akan tetap menolong teman kita saat kita juga sulit, apakah kita setangguh saat masih di kaki gunung? Apakah kita bisa melalui ujian ini ? tunjuklah ke diri sendiri.--> gue maksudnya. Hehehehe...

Kamis, 09 Desember 2010

Apa iya gue matre????

Akhir akhir ini saya sering berpikir , apa iya saya ini materialistis???

Hal ini muncul, karena ada peristiwa saat saya mundur dari proses awal ta'aruf saya, saya hanya sekali bertemu dengan dia, sosok lelaki yang dikenalkan oleh teman saya. Dari awal saya bertemu (tentunya ditemani teman saya), saya menyadari bahwa selalu saya yang banyak bertanya, capek juga karena pengharapan saya begitu besar. Kenapa juga sih beliau gak bawa CV jadi saya ga harus bertanya yang levelnya standard. jadi saya bisa langsung ke titiknya aja. Sampai pada pertanyaan,

A=Saya
B=Masnya

A: "Kerja dimana?"
B : "Satpam Sekolah"
A: (oooow), "satu sekolah sama wulan?"
B: "iya"
A:"kalo kerja disana , kesempatan untuk jadi PNS ada gak sih?"
B: "Ada, tapi gak tahu tuh , sering sih nyoba tapi belum dapat" (nyoba pake jalur sekolah, jadi gak ikut test)
A: OOh..(waduh kerjanya satpam doang (uups, maaf) mungkin kalo beliau ikhwan itu akan jadi nilai plus)

setelah bincang-bincang ini , saya nanya hanya sekedar basa-basi, itupun saya terus yang bertanya, saya gak tahu apa dia grogi, apa dia pendiam saya sama sekali tidak tahu. Setelah itu saya, pamit dengan alasan saya ada janji dengan sepupu saya.

Hari hari berikutnya, saya berpikir terus berpikir, ambil gak ya? ambil gak ya? . Tapi pekerjaannya buat saya mikir berat. Bisa gak ya saya menghormati dia sebagai suami saya kelak, jika ada perbedaan yang mencolok soal penghasilan (saya juga tidak tahu penghasilannya, tapi saya sedikit tahu gaji temen saya di sekolah yg sama yang bekerja sebagai TU, temen saya S1). Saya takut , jika dipaksakan ini jadi sesuatu yang tidak baik untuk kami berdua kelak. Itu dari sisi penghasilan. You know what?, biaya pendidikan mahal, biaya yang lain-lain ampun deh. Apa itu berarti saya materialistis??? saya tidak tahu, mungkin iya, mungkin juga tidak.

Dari segi yang lain, saya Blank sama sekali, karena teman saya yang 'comblangin' saya cuma bisa kasih informasi, "Dia sholat 5 waktunya oke dan jago bikin bumbu ikan bakar" , That's all!!!
Jadilah saya , dibuat bingung , saya gak tahu harus bagaimana dan saya juga tidak tertarik untuk melanjutkan. Karena memang saya tidak tahu perasaan saya, istilahnya I Have No Feeling For Him (ups, sorry). Setiap statusnya di FB pun hanya biasa saja, tidak ada yang menguatkan karakternya.

Saya juga sadar diri, saya tidak sempurna dan banyak sekali kekurangan, tapi dengan memaksakan diri , apakah itu akan baik untuk perkembangan jiwa kami?

Akhirnya, dengan sangat berat (mengingat hadist Rasul, saya terima deh resikonya) saya memutuskan untuk tidak melanjutkan. Saya gak mau nikah karena terpaksa, saya juga gak mau nikah hanya karena sang usia yang terus meneror saya.

Saya ingin menikah karena saya dan orang tsb memang ingin menikah dan membina keluarga sesuai dengan tuntunan Syariat Agama yang saya anut. Saya menikah karena kami memang saling mencintai dan mau berkorban satu sama lain. Katakanlah saya naif, memang!, karena memang saya belum pernah mengalami yang namanya pernikahan, saya hanya mengamati dan mengambil hikmah dari kejadian kejadian yang saya lihat. Atau , mungkin saya terlalu banyak menonton drama.

Pada akhirnya saya mencoba realistis, dan kini saya meringis (hehehehe.....) sambil tertawa, ini ujian paling berat dalam hidup gue. Tapi, gue yakinlah, Allah kan menciptakan manusia berpasang-pasangan, suatu hari nanti pasti gue nikah dan hidup bahagia dan survive. Pasti Allah sudah menyediakan sosok pria yang cocok buat gue, gak perlu ideal, yang penting pengertian. Cuma tinggal tunggu waktu, kamu tahu pepatah?,

Semuanya Akan Indah pada Waktunya